Perilaku Sex Remaja Pontianak
REMAJA adalah simbol peradaban dan masa depan sebuah bangsa. Dalam konteks Indonesia, di pundak merekalah masa depan bangsa ini dipertaruhkan. Perlakuan, pendidikan, apa yang mereka lakukan dan alami hari-hari ini akan sangat menentukan nasib bangsa ini ke depan. Seperti apa potret remaja “Khatulistiwa” meraba tabiat zaman yang terus berubah cepat saat ini?
Sejak beberapa minggu yang lalu bahkan sampai hari-hari ini, sejumlah kalangan masih dihebohkan seputar realitas kehidupan remaja Pontianak. Pay Jarot Sujarwo, penulis muda potensial-kreatif, dalam bukunya ‘Pontianak “Teenager” Under Cover’, memaparkan secara gamblang perihal perilaku (seks) bebas remaja di kota “Jungle” (Pontianak) ini. “….aktivitas seperti ini, ternyata bukanlah perkara asing bagi remaja di Pontianak, bahkan beberapa di antara mereka yang belum genap setahun mengalami menstruasi, pun pernah melakukannya. Prediksiku fenomena ini akan terus berkembang. Bukan hanya di pusat kota Pontianak, tapi akan terus merambah ke wilayah-wilayah yang dalam. Hiii serem (hal. 53). Pertanyaannya, benarkah perilaku (seks) remaja di Pontianak sudah sedemikian parah?”malapetaka yang dapat membelenggu dan menghancurkannya.
Tulisan ini tidak bermaksud menambah heboh berita itu, tetapi lebih memberikan alternatif, pemikiran progresif tentang bagaimana upaya kita untuk mengantisipasi dan menanggulangi agar perilaku (seks) bebas remaja tersebut dapat dihindari, minimal dieliminasi. Harus kita akui, kini kualitas moral kita semakin cair, mengalami degradasi, dan dekadensi yang (cukup) memprihatinkan. Dalam hal seks misalnya, dulu seks adalah hal yang sakral karena ia merupakan prokreasi, awal penciptaan manusia baru. Namun kini, seks bisa dipandang menjadi rekreasi, dinikmati. Oleh karenanya, jangan heran kalau sebagian remaja cukup permisif dalam pergaulan dengan lawan jenis. Bahkan ada yang memandang seks bebas sebagai sesuatu yang wajar.
Terjadinya perubahan pandangan ini menyebabkan mudahnya aktivitas seksual (terutama di kalangan remaja) dilanjutkan dengan hubungan seks. Hasil penelitian di sejumlah kota besar di Indonesia menunjukkan sekitar 20 sampai 30 persen remaja mengaku (maaf) pernah melakukan hubungan seks (DUTA, Edisi No. 230/Th. XVIII/September 2006). Maka jangan heran kehamilan pranikah semakin sering terjadi. Disinyalir jumlah angka (prosentase) yang sesungguhnya jauh lebih besar daripada data yang tercatat.
Menurut Dr. Boyke Dian Nugraha, pakar seks dan spesialis Obstetri dan Ginekologi, penyebabnya antara lain maraknya peredaran gambar dan VCD porno, kurangnya pemahaman akan nilai-nilai agama, keliru dalam memaknai cinta, minimnya pengetahuan remaja tentang seksualitas serta belum adanya pendidikan seks secara reguler-formal di sekolah-sekolah. Itulah sebabnya informasi tentang Makna Hakiki Cinta dan adanya Kurikulum Kesehatan Reproduksi di sekolah mutlak diperlukan.
Melacak lebih jauh persoalan cinta dan seksualitas di kalangan remaja ini, ada sejumlah fakta yang mesti diterima dengan lapang dada dan disikapi secara bijak. Pertama, banyak remaja memiliki persepsi yang salah tentang cinta. Misalnya, “Cinta itu memiliki dan harus mau berkorban”. Ketika anugerah cinta singgah di hatinya, ia tidak rela hubungan cintanya disudahi. Konsekuensinya, ia pun rela melakukan apa saja yang diinginkan pasangannya, termasuk melakukan perbuatan yang belum layak mereka lakukan.
Kedua, tawaran erotisme dan stimulasi seksual yang seronok - vulgar, yang disuguhkan media massa begitu deras mengalir di ruang publik. Hal tersebut sangat berdampak buruk pada mentalitas para remaja. Tawaran erotisme dan stimulasi seksual tersebut akan menimbulkan implikasi psikologis di kalangan remaja yang sedang dalam proses transisi mencari identitas diri.
Ketiga, cinta dan seksualitas merupakan hal yang sangat menarik perhatian remaja. Hal ini disebabkan karena pada masa remaja tersebut segala perangkat seksualnya mengalami perkembangan pesat dan dorongan seksualnya pun menjadi hal yang sangat akrab dalam kehidupan mereka.
Keempat, cinta dan seks adalah dorongan alami yang tak dapat dipisahkan dalam perkembangan setiap manusia yang normal. Dorongan seks tersebut sering menimbulkan masalah tetapi bukan tidak bisa diatasi. Seks harus dilihat dari konteks kehidupan kita secara utuh, tidak parsial. Dorongan itu bisa disublimasi menjadi potensi yang positif untuk berprestasi bila ditangai secara benar.
Kelima, kini, seks bukan monopoli orang dewasa atau orangtua lagi. Seks juga milik remaja. Nilai seks yang luhur itu pun sudah sedikit demi sedikit meninggalkan ketabuannya. Oleh sebab itu, nilai luhur seks itu harus ditanamkan pada remaja. Kalau dulu orang malu membicarakannya meskipun begitu banyak orang mengalami masalah seks, malu kalau ketahuan punya pacar, sekarang sebaliknya kalau tidak berani berpacaran bisa dinilai kuper dan ketinggalan zaman. Remaja, kini cepat dewasa. Malu kalau sudah duduk di bangku SMP, apalagi SMA belum memiliki pacar.
Keenam, para remaja kita sekarang ini (khususnya di kota-kota besar termasuk di Pontianak) telah mengalami pergeseran nilai yang cukup signifikan terhadap seks ini. Pergaulan bebas, pornografi, pornoaksi, seks bebas (free sex), intercouse, sex pranikah, dan berbagai aktivitas seksual lainnya bukan lagi sesuatu yang asing bagi mereka. Mereka begitu permisif dengan hal-hal tersebut. Di mata mereka, di dalam seks hanya ada kesenangan. Sementara sisi buram akibat perbuatan mereka hampir tidak pernah dipikirkan.
Ketujuh, banyak remaja yang kurang bahkan tidak mempunyai pemahaman yang memadai tentang masalah cinta dan seks ini. Banyak diantara mereka yang tidak mengenal organ tubuhnya sendiri secara baik, sementara tingkat keingintahuan mereka mengenai masalah seks ini begitu besar. Untuk memenuhi keingintahuan mereka yang begitu besar tersebut, mereka mencarinya secara sembunyi-sembunyi. Akibatnya, tidak sedikit di antara mereka yang terjebak dalam informasi yang salah bahkan menyesatkan yang dapat membahayakan perkembangan mental mereka. Untuk semua fakta itulah, informasi yang jelas, lugas dan komprehensif perihal makna hakiki cinta dan seks dengan segala dampak yang ditimbulkannya mutlak diperlukan.
Tabu tetapi Perlu
Harus diakui, sampai saat ini di kalangan masyarakat tertentu, berbicara soal seks masih dianggap masalah yang tabu. Seks belum menjadi wacana publik. Pro kontra masih saja ada. Oleh karenanya, jarang sekali kita jumpai pembicaraan perihal seks tersebut secara terbuka. Namun di sisi lain (fakta yang tak terbantahkan), masalah seks juga berjalan terus. Untuk itu hemat penulis, sosialisasi pemahaman tentang makna hakiki cinta dan perlunya kurikulum kesehatan reproduksi (baca: pendidikan seks) di sekolah-sekolah sangat perlu sebagai salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk memfilter perilaku destruktif seksual remaja.
Alasan-alasan yang mendukung perlunya sosialisasi makna hakiki cinta dan perlunya kurikulum kesehatan reproduksi di sekolah antara lain sebagai berikut. Pertama, masih banyak remaja yang memiliki persepsi cinta yang salah dan banyaknya kasus perkosaan, seks bebas, intercouse, sex pranikah, aborsi, dan berbagai aktivitas seksual lainnya yang dilakukan oleh para remaja.
Kedua, tidak semua orangtua (maaf) memiliki pemahaman secara baik tentang cinta dan berani berbicara secara terbuka mengenai seks dengan anak-anaknya. Diharapkan melalui sosialisasi makna hakiki cinta dan adanya kurikulum kesehatan reproduksi (pendidikan seks) di sekolah, kekurangan/kelemahan tersebut dapat diatasi. Ketiga, sudah saatnya para remaja kita mendapatkan hak reproduksi mereka, khususnya yang berkaitan dengan penjelasan dan pelayanan kesehatan reproduksi.
Keempat, sudah waktunya informasi yang rasional-komprehensif berupa pengenalan, penjelasan, pendampingan, pelayanan dan pendidikan seks yang baik khususnya menyangkut kesehatan reproduksi dan resiko perilaku seks bebas disampaikan kepada remaja. Kelima, sudah saatnya semua pihak yang menaruh perhatian dan harapan besar serta bertanggung jawab terhadap keberadaan tunas-tunas muda belia bangsa ini (termasuk institusi sekolah) memberikan pendampingan, penjelasan, pelayanan dan pendidikan seks kepada remaja tersebut sesuai dengan peran, tugas, dan kemampuannya agar terbangun pribadi-pribadi berkarakter, berkualitas, sehat, disiplin dan bertanggung jawab.
Sejak beberapa minggu yang lalu bahkan sampai hari-hari ini, sejumlah kalangan masih dihebohkan seputar realitas kehidupan remaja Pontianak. Pay Jarot Sujarwo, penulis muda potensial-kreatif, dalam bukunya ‘Pontianak “Teenager” Under Cover’, memaparkan secara gamblang perihal perilaku (seks) bebas remaja di kota “Jungle” (Pontianak) ini. “….aktivitas seperti ini, ternyata bukanlah perkara asing bagi remaja di Pontianak, bahkan beberapa di antara mereka yang belum genap setahun mengalami menstruasi, pun pernah melakukannya. Prediksiku fenomena ini akan terus berkembang. Bukan hanya di pusat kota Pontianak, tapi akan terus merambah ke wilayah-wilayah yang dalam. Hiii serem (hal. 53). Pertanyaannya, benarkah perilaku (seks) remaja di Pontianak sudah sedemikian parah?”malapetaka yang dapat membelenggu dan menghancurkannya.
Tulisan ini tidak bermaksud menambah heboh berita itu, tetapi lebih memberikan alternatif, pemikiran progresif tentang bagaimana upaya kita untuk mengantisipasi dan menanggulangi agar perilaku (seks) bebas remaja tersebut dapat dihindari, minimal dieliminasi. Harus kita akui, kini kualitas moral kita semakin cair, mengalami degradasi, dan dekadensi yang (cukup) memprihatinkan. Dalam hal seks misalnya, dulu seks adalah hal yang sakral karena ia merupakan prokreasi, awal penciptaan manusia baru. Namun kini, seks bisa dipandang menjadi rekreasi, dinikmati. Oleh karenanya, jangan heran kalau sebagian remaja cukup permisif dalam pergaulan dengan lawan jenis. Bahkan ada yang memandang seks bebas sebagai sesuatu yang wajar.
Terjadinya perubahan pandangan ini menyebabkan mudahnya aktivitas seksual (terutama di kalangan remaja) dilanjutkan dengan hubungan seks. Hasil penelitian di sejumlah kota besar di Indonesia menunjukkan sekitar 20 sampai 30 persen remaja mengaku (maaf) pernah melakukan hubungan seks (DUTA, Edisi No. 230/Th. XVIII/September 2006). Maka jangan heran kehamilan pranikah semakin sering terjadi. Disinyalir jumlah angka (prosentase) yang sesungguhnya jauh lebih besar daripada data yang tercatat.
Menurut Dr. Boyke Dian Nugraha, pakar seks dan spesialis Obstetri dan Ginekologi, penyebabnya antara lain maraknya peredaran gambar dan VCD porno, kurangnya pemahaman akan nilai-nilai agama, keliru dalam memaknai cinta, minimnya pengetahuan remaja tentang seksualitas serta belum adanya pendidikan seks secara reguler-formal di sekolah-sekolah. Itulah sebabnya informasi tentang Makna Hakiki Cinta dan adanya Kurikulum Kesehatan Reproduksi di sekolah mutlak diperlukan.
Melacak lebih jauh persoalan cinta dan seksualitas di kalangan remaja ini, ada sejumlah fakta yang mesti diterima dengan lapang dada dan disikapi secara bijak. Pertama, banyak remaja memiliki persepsi yang salah tentang cinta. Misalnya, “Cinta itu memiliki dan harus mau berkorban”. Ketika anugerah cinta singgah di hatinya, ia tidak rela hubungan cintanya disudahi. Konsekuensinya, ia pun rela melakukan apa saja yang diinginkan pasangannya, termasuk melakukan perbuatan yang belum layak mereka lakukan.
Kedua, tawaran erotisme dan stimulasi seksual yang seronok - vulgar, yang disuguhkan media massa begitu deras mengalir di ruang publik. Hal tersebut sangat berdampak buruk pada mentalitas para remaja. Tawaran erotisme dan stimulasi seksual tersebut akan menimbulkan implikasi psikologis di kalangan remaja yang sedang dalam proses transisi mencari identitas diri.
Ketiga, cinta dan seksualitas merupakan hal yang sangat menarik perhatian remaja. Hal ini disebabkan karena pada masa remaja tersebut segala perangkat seksualnya mengalami perkembangan pesat dan dorongan seksualnya pun menjadi hal yang sangat akrab dalam kehidupan mereka.
Keempat, cinta dan seks adalah dorongan alami yang tak dapat dipisahkan dalam perkembangan setiap manusia yang normal. Dorongan seks tersebut sering menimbulkan masalah tetapi bukan tidak bisa diatasi. Seks harus dilihat dari konteks kehidupan kita secara utuh, tidak parsial. Dorongan itu bisa disublimasi menjadi potensi yang positif untuk berprestasi bila ditangai secara benar.
Kelima, kini, seks bukan monopoli orang dewasa atau orangtua lagi. Seks juga milik remaja. Nilai seks yang luhur itu pun sudah sedikit demi sedikit meninggalkan ketabuannya. Oleh sebab itu, nilai luhur seks itu harus ditanamkan pada remaja. Kalau dulu orang malu membicarakannya meskipun begitu banyak orang mengalami masalah seks, malu kalau ketahuan punya pacar, sekarang sebaliknya kalau tidak berani berpacaran bisa dinilai kuper dan ketinggalan zaman. Remaja, kini cepat dewasa. Malu kalau sudah duduk di bangku SMP, apalagi SMA belum memiliki pacar.
Keenam, para remaja kita sekarang ini (khususnya di kota-kota besar termasuk di Pontianak) telah mengalami pergeseran nilai yang cukup signifikan terhadap seks ini. Pergaulan bebas, pornografi, pornoaksi, seks bebas (free sex), intercouse, sex pranikah, dan berbagai aktivitas seksual lainnya bukan lagi sesuatu yang asing bagi mereka. Mereka begitu permisif dengan hal-hal tersebut. Di mata mereka, di dalam seks hanya ada kesenangan. Sementara sisi buram akibat perbuatan mereka hampir tidak pernah dipikirkan.
Ketujuh, banyak remaja yang kurang bahkan tidak mempunyai pemahaman yang memadai tentang masalah cinta dan seks ini. Banyak diantara mereka yang tidak mengenal organ tubuhnya sendiri secara baik, sementara tingkat keingintahuan mereka mengenai masalah seks ini begitu besar. Untuk memenuhi keingintahuan mereka yang begitu besar tersebut, mereka mencarinya secara sembunyi-sembunyi. Akibatnya, tidak sedikit di antara mereka yang terjebak dalam informasi yang salah bahkan menyesatkan yang dapat membahayakan perkembangan mental mereka. Untuk semua fakta itulah, informasi yang jelas, lugas dan komprehensif perihal makna hakiki cinta dan seks dengan segala dampak yang ditimbulkannya mutlak diperlukan.
Tabu tetapi Perlu
Harus diakui, sampai saat ini di kalangan masyarakat tertentu, berbicara soal seks masih dianggap masalah yang tabu. Seks belum menjadi wacana publik. Pro kontra masih saja ada. Oleh karenanya, jarang sekali kita jumpai pembicaraan perihal seks tersebut secara terbuka. Namun di sisi lain (fakta yang tak terbantahkan), masalah seks juga berjalan terus. Untuk itu hemat penulis, sosialisasi pemahaman tentang makna hakiki cinta dan perlunya kurikulum kesehatan reproduksi (baca: pendidikan seks) di sekolah-sekolah sangat perlu sebagai salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk memfilter perilaku destruktif seksual remaja.
Alasan-alasan yang mendukung perlunya sosialisasi makna hakiki cinta dan perlunya kurikulum kesehatan reproduksi di sekolah antara lain sebagai berikut. Pertama, masih banyak remaja yang memiliki persepsi cinta yang salah dan banyaknya kasus perkosaan, seks bebas, intercouse, sex pranikah, aborsi, dan berbagai aktivitas seksual lainnya yang dilakukan oleh para remaja.
Kedua, tidak semua orangtua (maaf) memiliki pemahaman secara baik tentang cinta dan berani berbicara secara terbuka mengenai seks dengan anak-anaknya. Diharapkan melalui sosialisasi makna hakiki cinta dan adanya kurikulum kesehatan reproduksi (pendidikan seks) di sekolah, kekurangan/kelemahan tersebut dapat diatasi. Ketiga, sudah saatnya para remaja kita mendapatkan hak reproduksi mereka, khususnya yang berkaitan dengan penjelasan dan pelayanan kesehatan reproduksi.
Keempat, sudah waktunya informasi yang rasional-komprehensif berupa pengenalan, penjelasan, pendampingan, pelayanan dan pendidikan seks yang baik khususnya menyangkut kesehatan reproduksi dan resiko perilaku seks bebas disampaikan kepada remaja. Kelima, sudah saatnya semua pihak yang menaruh perhatian dan harapan besar serta bertanggung jawab terhadap keberadaan tunas-tunas muda belia bangsa ini (termasuk institusi sekolah) memberikan pendampingan, penjelasan, pelayanan dan pendidikan seks kepada remaja tersebut sesuai dengan peran, tugas, dan kemampuannya agar terbangun pribadi-pribadi berkarakter, berkualitas, sehat, disiplin dan bertanggung jawab.
Sumber: http://sepsis.wordpress.com/perilaku-sex-remaja-pontianak/