Demo Warnai Peresmian Kantor BI
DIJAGA KETAT: Puluhan polisi terlihat berjaga di depan Gedung BI saat digelarnya demo siang kemarin. SHANDO SAFELA/PONTIANAK POST
PONTIANAK – Demontrasi mewarnai peresmian gedung kantor dan pergantian pimpinan Bank Indonesia Pontianak, Rabu (26/1) pagi. Ahli waris tidak terima Kantor BI di Jalan Ahmad Yani diresmikan. Pasalnya, gedung itu berdiri di atas tanah yang masih bersengketa. “Kita tadi (kemarin) pagi mau sidang di pengadilan (PN Pontianak) kumpul bersama saksi, ahli waris, sudah lengkap. Ternyata dapat berita ini (Kantor BI) mau diresmikan. Kalau ini diresmikan kita dirugikan. Karena jelas-jelas cap jempol ahli waris dipalsukan. Kita juga sudah laporkan ke Polres tentang pemalsuan cap jempol klien kita,” kata Musa Surin, Kuasa Hukum penggugat, kepada wartawan di depan Kantor BI kemarin.
Menurut dia, tanah itu adalah milik Talibe. Ahli warisnya adalah Hapiah dan Zahara (anak Hapiah). Dia heran, mengapa tanah itu masih bersengketa dan proses hukum masih berjalan tapi Kantor BI sudah diresmikan. “Jadi kalau gedung ini diresmikan, permohonan kita dikabulkan secara otomatis kan harus ganti rugi bangunan ini. Sedangkan klien kita orang miskin, orang tidak punya apa-apa. Sekarang pun numpang-numpang tempat orang, karena tanah diambil orang. Harusnya berlakulah hukum yang adil. Jangan orang di atas seenaknya,” kata Musa. Dia menegaskan, tidak ada pemberitahuan ke pihak penggugat, jika Kantor BI itu akan diresmikan. “Kita sudah berupa maksimal mungkin, kalau memberitahukan ke kita ada peresmian, kita tidak akan mengapa-ngapa. Ini tidak ada sama sekali memberitahukan. Saya selaku kuasa hukum merasa sangat keberatan,” tegas Muda.
Dijelaskan Musa, seharusnya ketika masih dalam sengketa tidak boleh diresmikan terlebih dahulu. Kecuali, tegasnya, pengadilan bisa menjamin. “Jadi, dunia peradilan kita ini sekarang tidak tahu dibawa kemana. Proses peradilan saja sekarang baru pemeriksaan saksi penggugat. Kita sangat dirugikan kalau seandainya ini (Kantor BI) diresmikan,” tegas Musa.Menurut dia, tanah ahli waris itu sekitar 1,6 hektar dan sudah diambil untuk Jalan A Yani, sembilan meter. “Jadi, sisanya 11.000 x Rp8 juta harga sekarang, jadi sekitar Rp88 miliar. Karena wakaf daripada ahli waris itu ada di sana, sepakat I. Kita sudah mediasi tapi mereka tetap ngotot,” kata Musa.
“Kita sudah katakan kalau mau ganti rugi fifty-fifty. Kita minta kemarin Rp4,5 juta permeter, berarti Rp2 juta untuk kita dan Rp2,5 juta mereka. Kita sudah berupaya melakukan itu. Kecuali, gereja kita lepaskan untuk umat beragama. Kita sudah berupaya semaksimal mungkin,” tambah Musa. Dia juga memandang banyak keanehan yang terjadi. Misalnya, sertifikat yang diterbitkan BPN Kota Pontianak atas nama orang yang sudah meninggal dunia tahun 1963. “Jadi, orang yang meninggal tahun 1963 bisa jual beli sama manusia yang hidup. Ini kan suatu keanehan. Jadi bangkit (hantu) menjual kepada manusia. Ini diketahui ini oleh ahli waris baru setelah ada sidang pengadilan. Ternyata nama diubah. Sedangkan peraturan perubahan nama itu sebenarnya ada ketentuan yang mengaturnya,” kata Musa. Kuasa Hukum BI memberikan tanggapan. Hari Sugeng Raharjo Executive Legal Advisor Directorate of Legal Affairs Bank Indonesia, dikonfirmasi menegaskan, bahwa yang pertama perlu dipahami adalah, BI bukan satu-satunya pihak tergugat. “Banyak pihak tergugat. BI ini tergugat ke-20. Karena hanya sebagian kecil tanah yang di BI,” katanya di temui di PN Pontianak.
Dia menegaskan, belum ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang membatalkan atas bukti kepemilikan yang BI punya. Jadi, tegasnya, tidak ada masalah dengan peresemian kantor BI tersebut. “Tidak ada pengadilan mana pun yang mengatakan, bahwa itu bukan BI. Dan tidak ada pengadilan manapun yang mengatakan atau memerintahkan aktivitas itu harus dihentikan,” tegasnya. Menurut dia, aktivitas tetap berjalan termasuk peresmian kantor BI, karena pengadilan belum mengeluarkan larangan. “Kecuali keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap melarang, kita hormati. Kalau tidak kita hormati, kita melanggar hukum,” tegasnya.
Ia menambahkan, kalau tidak ada (keputusan pengadilan) siapa yang bisa melarang. “Ini sertifikat masalahnya. Sertifikat itu dalam hukum tanah merupakan bukti kepemilikan yang berisf absolut. Jadi tidak bisa dibatalkan kecuali ada bukti sebaliknya,” kata Hari. Menurut dia, BI akan menghormati segala keputusan yang dikeluarkan pengadilan, apapun isisnya setelah incrah dari MA. Ia meminta kepada pihak-pihak yang ada dalam perkara Dan ini, untuk menghormati proses hukum yang sedang berjalan. “Kita ikuti saja bagaimana pengadilan nanti. Misalnya nanti tidak puas tingkat I, banding, tak puas lagi bisa kasasi. Ini yang kita harapkan, ada pemahaman dari pihak-pihak yang terlibat dalam perkara ini. Kita hormati saja,” tegasnya.
Menurut dia, jika ada upaya yang menjudisial melalui unras (unjuk rasa), itu bagian dari hak masyrakaat. Tegasnya, itu bukan urusan BI. “Saya kira ada penegak hukum lain yang bisa menertibkan itu. Maka tadi kami katakan ikuti saja pengadilan. Kami akan tetap komit menghormati putusan pengadilan,” kata Hari. Dia menegaskan lagi, “Kami dan tergugat lainnya, seperti itu bentuk penghormatannya. Tentu yang lain kami minta juga hormati proses itu. Ini negara hukum.” Terkait pihak penggugat yang melaporkan pemalsuan tanda tangan, Hari menegaskan, itu tidak masalah. “Ya silahkan saja, itu ranah pidana. Kita ini masalah perdata,” tuntasnya. (ody)
Pontianak Post
PONTIANAK – Demontrasi mewarnai peresmian gedung kantor dan pergantian pimpinan Bank Indonesia Pontianak, Rabu (26/1) pagi. Ahli waris tidak terima Kantor BI di Jalan Ahmad Yani diresmikan. Pasalnya, gedung itu berdiri di atas tanah yang masih bersengketa. “Kita tadi (kemarin) pagi mau sidang di pengadilan (PN Pontianak) kumpul bersama saksi, ahli waris, sudah lengkap. Ternyata dapat berita ini (Kantor BI) mau diresmikan. Kalau ini diresmikan kita dirugikan. Karena jelas-jelas cap jempol ahli waris dipalsukan. Kita juga sudah laporkan ke Polres tentang pemalsuan cap jempol klien kita,” kata Musa Surin, Kuasa Hukum penggugat, kepada wartawan di depan Kantor BI kemarin.
Menurut dia, tanah itu adalah milik Talibe. Ahli warisnya adalah Hapiah dan Zahara (anak Hapiah). Dia heran, mengapa tanah itu masih bersengketa dan proses hukum masih berjalan tapi Kantor BI sudah diresmikan. “Jadi kalau gedung ini diresmikan, permohonan kita dikabulkan secara otomatis kan harus ganti rugi bangunan ini. Sedangkan klien kita orang miskin, orang tidak punya apa-apa. Sekarang pun numpang-numpang tempat orang, karena tanah diambil orang. Harusnya berlakulah hukum yang adil. Jangan orang di atas seenaknya,” kata Musa. Dia menegaskan, tidak ada pemberitahuan ke pihak penggugat, jika Kantor BI itu akan diresmikan. “Kita sudah berupa maksimal mungkin, kalau memberitahukan ke kita ada peresmian, kita tidak akan mengapa-ngapa. Ini tidak ada sama sekali memberitahukan. Saya selaku kuasa hukum merasa sangat keberatan,” tegas Muda.
Dijelaskan Musa, seharusnya ketika masih dalam sengketa tidak boleh diresmikan terlebih dahulu. Kecuali, tegasnya, pengadilan bisa menjamin. “Jadi, dunia peradilan kita ini sekarang tidak tahu dibawa kemana. Proses peradilan saja sekarang baru pemeriksaan saksi penggugat. Kita sangat dirugikan kalau seandainya ini (Kantor BI) diresmikan,” tegas Musa.Menurut dia, tanah ahli waris itu sekitar 1,6 hektar dan sudah diambil untuk Jalan A Yani, sembilan meter. “Jadi, sisanya 11.000 x Rp8 juta harga sekarang, jadi sekitar Rp88 miliar. Karena wakaf daripada ahli waris itu ada di sana, sepakat I. Kita sudah mediasi tapi mereka tetap ngotot,” kata Musa.
“Kita sudah katakan kalau mau ganti rugi fifty-fifty. Kita minta kemarin Rp4,5 juta permeter, berarti Rp2 juta untuk kita dan Rp2,5 juta mereka. Kita sudah berupaya melakukan itu. Kecuali, gereja kita lepaskan untuk umat beragama. Kita sudah berupaya semaksimal mungkin,” tambah Musa. Dia juga memandang banyak keanehan yang terjadi. Misalnya, sertifikat yang diterbitkan BPN Kota Pontianak atas nama orang yang sudah meninggal dunia tahun 1963. “Jadi, orang yang meninggal tahun 1963 bisa jual beli sama manusia yang hidup. Ini kan suatu keanehan. Jadi bangkit (hantu) menjual kepada manusia. Ini diketahui ini oleh ahli waris baru setelah ada sidang pengadilan. Ternyata nama diubah. Sedangkan peraturan perubahan nama itu sebenarnya ada ketentuan yang mengaturnya,” kata Musa. Kuasa Hukum BI memberikan tanggapan. Hari Sugeng Raharjo Executive Legal Advisor Directorate of Legal Affairs Bank Indonesia, dikonfirmasi menegaskan, bahwa yang pertama perlu dipahami adalah, BI bukan satu-satunya pihak tergugat. “Banyak pihak tergugat. BI ini tergugat ke-20. Karena hanya sebagian kecil tanah yang di BI,” katanya di temui di PN Pontianak.
Dia menegaskan, belum ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang membatalkan atas bukti kepemilikan yang BI punya. Jadi, tegasnya, tidak ada masalah dengan peresemian kantor BI tersebut. “Tidak ada pengadilan mana pun yang mengatakan, bahwa itu bukan BI. Dan tidak ada pengadilan manapun yang mengatakan atau memerintahkan aktivitas itu harus dihentikan,” tegasnya. Menurut dia, aktivitas tetap berjalan termasuk peresmian kantor BI, karena pengadilan belum mengeluarkan larangan. “Kecuali keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap melarang, kita hormati. Kalau tidak kita hormati, kita melanggar hukum,” tegasnya.
Ia menambahkan, kalau tidak ada (keputusan pengadilan) siapa yang bisa melarang. “Ini sertifikat masalahnya. Sertifikat itu dalam hukum tanah merupakan bukti kepemilikan yang berisf absolut. Jadi tidak bisa dibatalkan kecuali ada bukti sebaliknya,” kata Hari. Menurut dia, BI akan menghormati segala keputusan yang dikeluarkan pengadilan, apapun isisnya setelah incrah dari MA. Ia meminta kepada pihak-pihak yang ada dalam perkara Dan ini, untuk menghormati proses hukum yang sedang berjalan. “Kita ikuti saja bagaimana pengadilan nanti. Misalnya nanti tidak puas tingkat I, banding, tak puas lagi bisa kasasi. Ini yang kita harapkan, ada pemahaman dari pihak-pihak yang terlibat dalam perkara ini. Kita hormati saja,” tegasnya.
Menurut dia, jika ada upaya yang menjudisial melalui unras (unjuk rasa), itu bagian dari hak masyrakaat. Tegasnya, itu bukan urusan BI. “Saya kira ada penegak hukum lain yang bisa menertibkan itu. Maka tadi kami katakan ikuti saja pengadilan. Kami akan tetap komit menghormati putusan pengadilan,” kata Hari. Dia menegaskan lagi, “Kami dan tergugat lainnya, seperti itu bentuk penghormatannya. Tentu yang lain kami minta juga hormati proses itu. Ini negara hukum.” Terkait pihak penggugat yang melaporkan pemalsuan tanda tangan, Hari menegaskan, itu tidak masalah. “Ya silahkan saja, itu ranah pidana. Kita ini masalah perdata,” tuntasnya. (ody)
Pontianak Post